Media Sosial dan Pragmatik Siber

Oleh: Amri Ikhsan 

Media sosial adalah salah satu fitur yang paling sering digunakan oleh pengguna internet saat ini. Hampir bisa dipastikan bahwa hampir semua orang yang punya smartphone juga memiliki akun media sosial, seperti Facebook, Twitter, Path, Instagram, dan sebagainya. Hampir tidak ada waktu senggang tanpa memegang HP.

Media sosial bahkan menjadi “senjata baru” untuk mengisi waktu senggang. Media sosial adalah platform media yang memfokuskan pada eksistensi pengguna yang memfasilitasi mereka dalam beraktifitas maupun berkolaborasi (Van Dijk). Sosial media diawali dari tiga hal, yaitu Sharing, collaborating dan Connecting (Puntoadi, 2011).

Media sosial hadir dan merubah cara berkomunikasi. Komunikasi tak terbatas jarak, waktu, ruang dan bisa dilakukan dimana saja, kapan saja, tanpa harus tatap muka. Bahkan media sosial mampu meniadakan status sosial, yang bisa menghambat komunikasi selama ini. Komunikasi di media sosial telah banyak memutarbalikkan banyak pemikiran dan teori yang dimiliki (UMI).

Dengan bermedia sosial, komunikasi maupun interaksi mengalami perubahan yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Dunia seolah-olah tanpa batas, dunia ada digenggaman tangaa. Tidak ada kerahasiaan yang bisa ditutupi. Kita bisa mengetahui aktivitas secara ‘real time’, padahal kita tidak kenal dan tidak pernah bertemu tatap muka.

Media sosial telah melenyapkan kategori sosial, batas sosial, hirarki sosial yang telah terbentuk di tengah masyarakat. Jaringan informasi menjadi bersifat transparan dan virtual tatkala tak ada lagi kategori-kategori moral yang mengikatnya dan ukuran-ukuran nilai yang membatasinya. (Piliang, 2004)

Dengan kehadiran media sosial, terbuka kesempatan bagi nitizen untuk menunjukkan eksistensinya. Melalui status, komentar, tweet, notes, dan berbagai fasilitas dalam social media, nitizen mulai menyebarkan pemikiran, pendapat, kritik yang relatif ‘lebih berani’, yang jika dibandingkan dengan komunikasi di dunia nyata.

Kebebasan berpendapat, keleluasaan berbagi, berekspresi tanpa batas hendaknya bisa dimanfaatkan secara bijak. Dengan tetap berpegang pada etika komunikasi yang santun, maka kontrol ‘jari’ sangat diperlukan. Harus disadari bahwa konten yang telah diunggah, pada dasarnya telah menjadi milik umum dan hampir tidak mungkin dihapus, sehingga kehati hatian sangat dibutuhkan ketika kita bertukar atau menyebarkan informasi.

Komunikasi di media sosial, nitizen menjadi ‘seorang pemberani’, maklum dia tidak menatap wajah lawan bicara untuk menyampaikan sesuatu. Dia  menyangka bahwa dirinya bisa bersembunyi di balik ke-daring-an komunikasi, padahal sesungguhnya semua unggahan sudah tersimpan dalam big data, ada jejak digital yang bisa saja dibaca oleh orang lain.

Oleh karena itu, agar dapat menangkap makna pesan di media sosial, nitezen harus memiliki kemampuan untuk mengenal konteks pembicaraan. Ada cabang ilmu yang mengkaji makna sebuah tuturan yang ideal dikuasi oleh nitizen. Ilmu itu adalah pragmatik.

Karena pragmatik digendeng atau bersinergi dengan bidang-bidang lain yang berada di luar bidang bahasa. Dalam kaitan dengan perkembangan digital, pragmatic telah bersinergi dengan teknologi informasi dan teknologi digital yang selanjutnya melahirkan siberpragmatik (cyberpragmatics). (Yus, 2011)  yang mengkaji maksud bahasa nitizen di media sosial berdasarkan intepretasi dari konteks ‘pembicaraan’, baik yang bersifat sosial, sosietal, kultural, maupun situasional.

Dalam akun Alisha, ‘Kini dak apolah.. tertatih tatih bjalan.. kato orang dusun tu bguyur.. Ado maso kagi malenggang..’, kelihatannya konteks tuturan itu belum jelas. Siapa penuturnya belum tergambar dengan jelas. Siapa lawan bicaranya belum tergambar dengan jelas. Perlu kajian ‘tingkat tinggi’ untuk menemukan makna yang sebenarnya dari tuturan itu.

Banyak pihak menyatakan bahwa bahasa bahkan dikatakan sebagai cermin dari masyarakatnya. Kalau bahasa adalah cermin dari masyarakat, maka harus dikatakan pula bahwa bahasa itu juga merupakan cermin dari nitizen yang menuturkan bahasa itu. Pilihan diksi yang disampaikan nitizen merupakan karakter dari nitizen tersebut.

Sering terjadi, makna pesan yang ditulis nitezen di media sosial tidak selamanya mudah ditangkap maksudnya oleh nitizen lain. Ada yang salah pengertian, ada yang merasa ‘kepo’. Adakalanya maksud tersebut ditangkap maksudnya setelah selang beberapa saat, bahkan mungkin setelah berjam-jam setelah peristiwa tutur itu terjadi.

Adakalanya juga, orang baru menangkap maksud itu berharihari setelah terjadinya sebuah pertuturan, tentu setelah melalui proses permenungan yang relatif panjang, lalu dengan sertamerta mitra tutur memahami maksud tuturan yang disampaikan penutur.

Terlebih-lebih, bila tuturan yang bersifat ‘high-context’, pesan bersifat implisit tidak langsung dan tidak terus terang, perkataan yang sekedar basa basi atau kata yang sekedar candaan yang tidak memberi arti yang serius yang suka berputar-putar dalam memberikan pernyataan sebelum menjelaskan maksud atau arti yang sebenarnya.

Tapi relatif lebih mudah memahami perkataan dalam konteks budaya rendah, dengan pesan yang eksplisit, gaya bicara langsung, lugas dan terus terang. Pada budaya konteks rendah mereka mengatatakan maksud (They say what they mean) dan memaksudkan apa yang mereka katakan. Low Context adalah perkataan atau sebuah pernyataan yang tidak mengandung candaan dan langsung menjelaskan maksud atau arti sebenarnya. (Edward T. Hall, 1976).

Oleh karena, agar ‘nyaman’ berkomunikasi di media sosial, tidak ada pilihan lain, nitizen baik sebagai penutur atau ‘penikmat’ pesan harus memahami konteks pembicaraan, baik konteks internal, yang ada dalam bahasa itu sendiri maupun konteks eksternal bertautan dengan aspek-aspek ekstra kebahasaan.

Sebelum nitizen menyampaikan pesan atau dalam memahami pesan nitizen lain, dalami dan pikirkan: 1) konteks sosial: konteks yang bersifat kemasyarakatan dan dimensinya adalah horizontal atau mendatar, misalnya antar teman, antar mahasiswa, antar dosen, antar pedagang; 2) konteks sosietal: konteks yang bersifat kemasyarakatan dan dimensinya adalah vertikal atau tegak lurus, misalnya dosen dengan rektor, pembantu rumah tangga dengan majikan, mahasiswa dan para dosen;

Kemudian, 3) konteks kultural: konteks yang dasar asumsi personal maupun komunalnya adalah dimensi-dimensi budaya suatu masyarakat; dan 4) konteks situasi: konteks yang dasar asumsinya adalah situasi, suasana, atmosfer, tingkat keformalan, dll. (Rahardi, 2020)

Tujuan pengenalan konteks ini agar kita tidak ‘merasa’: dikritik, dihina, dibully, dipuji, disinggung, diremehkan, padahal ‘tidak’. Mari pahami konteks pembicara secara utuh!

(Penulis adalah seorang pendidik di Madrasah)

Komentar