‘Memakmurkan’ Ruang Kelas

Oleh: Amri Ikhsan

Tak satupun yang bisa memprediksi kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. Berbagai macam usaha dan ikhtiar ‘pedagogik’ telah dilakukan guru untuk menyesuaikan diri menghadapi pandemi ini. Guru telah berinisiatif membuat pembelajaran lebih ‘hidup’ ditengah kehidupan serba keterbatasan, suasana tertekan dan rasa ketakutan menerpa guru dan siswa.

Banyak kajian mengungkapkn bahwa dampak paling ‘ditakutkan’ yang ditimbulkan dari wabah pandemi adalah the lost generation. Bank Dunia merilis hasil temuan yang menyebutkan bahwa siswa Indonesia kehilangan 0,9 tahun atau sekitar 10 bulan masa pembelajaran di sekolah akibat pandemi Covid-19 yang berlangsung dari bulan Maret tahun 2020 lalu. (Republika).

Pemerintah sudah mengantisipsi hal ini dengan melakukan perubahan kurikulum pendidikan, yang dinamai Kurikulum Protopite, atau kurikulum Paradigma Baru dan terakhir dinamai Kurikulum Merdeka (Republika). Tapi diyakini, kurikulum ini belum bisa dijadikan ‘obat paling ampuh’ untuk mengikis the lost generation tanpa ada ikhtiar guru. Guru harus melakukan sesuatu, guru harus ‘memakmurkan ruang kelas’, agar siswa merasa nyaman dan tenang dalam belajar.

Harus diakui bahwa ruang kelas adalah tempat yang paling baik, tepat dan nyaman untuk belajar. Tidak ada tempat ‘di dunia’ yang didisain khusus untuk beraktivitas pembelajaran. Di tempat itulah siswa bisa belajar, berdiskusi, presentasi, berpikir, bereksperimen, berbagi ilmu, bersilaturrahmi, dll.

Datang ke ruang kelas merupakan bukti nyata siswa serius mau belajar. Belum dikatakan sempurna niat belajar siswa jika dia malas dan enggan datang ke ruang kelas. Seperti apapun bentuknya, ruang kelas harus dirawat dan ‘dihidupkan’. Menggiatkan berbagai aktivitas pembelajaran yang didasari semangat untuk menggali ilmu pengetahuan secara maksimal, yang pada akhirnya ruang kelas tersebut akan memainkan fungsinya sebagai salah satu pusat sumber belajar, pusat silaturrahmi ‘akademis’ antar siswa.

Memakmurkan ruang kelas diharapkan akan muncul ‘chemistry’ positif antara guru dan siswa: 1) ‘hambar rasanya’ bila tidak berada di ruang kelas; 2) hidup terasa kering bila tidak bercengkrama dengan siswa di ruang kelas; 3) terasa sepi bela tidak mendengar ‘ocehan’ guru; 4) belum lengkap bila belum menjawab presensi guru; 5) terasa hampa bila belum ada ‘ceramah’ guru tentang materi pembelajaran; 6) ‘nikmat’ rasanya mengerjakan projek yang diberikan guru; 7) terasa ‘sakit hati’ bila jam belajar harus berakhir.

Itulah karakter ruang kelas yang ‘makmur’. Tapi, pembentukan karakter ini sangat dipengaruhi oleh kepribadian guru. Guru yang berkarakter adalah guru yang bisa mencontohkan, bukan hanya bisa memberi contoh. Guru yang benar-benar mendidik, bukan sekedar menyampaikan materi ajar, berceramah sepanjang waktu. Tidak sekedar datang ke kelas dan memberi tugas, dll.

Ruang kelas tidak ‘dihiasi’ dengan kata kata: tidak boleh terlambat masuk kelas, tidak diperkenankan ke toilet selama pelajaran berlangsung dan tidak boleh makan, tidak boleh salah, tidak boleh berisik, dll. Tidak terdengar ungkapan: awas…, nanti dihukum, dipanggil orang tua, silakan menemui guru piket atau guru BP, dll.

Kelas yang ‘makmur’ berinisiatif untuk saling ‘mencintai’ siswa. Ini bukan berarti selalu menuruti kemauan siswa dan harus tetap ada jarak antara guru dengan siswa sehingga guru tetap dihormati dan tidak diremehkan. Guru harus menunjukkan totalitas dalam mendidik, di balik sikap disiplinnya. Dia nyaris tidak bisa ‘senang dan tenang’ sampai dipastikan semua siswanya dalam keadaan baik dan dapat mengerjakan semua tugas yang diberikan dengan sempurna. Ruang kelas yang ‘makmur’ harus mengajarkan kepada siswa realita kehidupan yang keras, kompetitif tidak ada waktu untuk bersikap malas dan manja.

Di ruang kelas, bagi guru, keteladanan, ketegasan dan konsistensi merupakan fondasi dan menjadi fokus perhatian dalam mendidik. Tanpa keteladanan, tiada arti segala aturan, tiada makna metode, strategi pembelajaran yang ilmiah, tiada berfungsi media pembelajaran canggih. Tanpa ketegasan takkan muncul kedisiplinan. Dan tanpa konsistensi, niat belajar yang tulus, ikhlas akan menjadi keterpaksaan.

Memakmurkan ruang kelas bisa dilakukan dengan mencurahkan kasih sayang ‘pedagogik’. Memakmurkan dalam konteks berupaya memberikan yang terbaik, segala potensi siswa bisa dimanfaatkan secara maksimal sehingga ruang kelas penuh dengan retorika dan komunikasi yang saling memperkaya. Siswa tertantang untuk berbagai ilmu, dan siswa yang lain tidak merasa keberatan menerima informasi dari koleganya. Tidak ada kompetisi, tidak ada persaingan, tidak ada yang saling melemahkan, yang ada kolaborasi, semua siswa berkomitmen, ‘nikmatnya berbagi’.

Memakmurkan ruang kelas mestinya dimulai dari mendisain; 1) lingkungan yang menginspirasi. Siswa belajar tapi tidak dibelajarkan. Semua kegiatan berjalan secara informal. Siswa menguasai suatu materi bukan karena ‘dipaksa’ guru, tapi memang ilmu itu diperlukan siswa. Tanpa diperintah siswa akan belajar hal itu; 2) suasana kompetisi kelas yang menantang. Guru menyiapkan materi yang menantang siswa untuk merespon. Tidak ada yang meminta siswa untuk berbicara, tapi memang siswa kepingin berbicara. Inilah pembelajaran berorientasi High Order Thinking Skills (HOTS).

Tugas guru dalam ruang kelas adalah mempermudah segala urusan siswa, menjelaskan kembali tentang materi yang dipelajari. Menjelaskan kembali dengan cara, metode, strategi yang berbeda yang melibatkan logika yang mudah dicerna, tanpa berbelit-belit. Guru mengerah segala upaya, tanpa bosan untuk menyakinkan siswa tentang materi itu. Ini dilanjutkan dengan membiasakan siswa berkomunikasi dengan baik. Siswa diberi ‘panggung’ untuk mengkomunikasikan ide mereka, agar siswa terbiasa ‘public speaking’.

Dalam memakmur ruang kelas, guru harus memiliki banyak ‘stok’ bekal dan amunisi untuk dibawa ke ruang kelas. Ini untuk mengakomodasi setiap kebutuhan para siswa. Harus diakui bahwa siswa yang memiliki keragaman potensi bisa tetap difasilitasi secara bersama-sama. Minimal guru menyiapkn beragam sumber belajar, metode pembelajaran yang bisa membantu setiap siswa mengeksplorasi kurikulum,kegiatan belajar yang bisa menggali setiap ide dan potensi siswa, dan pilihan asesmen yang bisa membuat siswa menunjukkan beragam hasil belajarnya (Kejarcita).

Dalam ruang kelas ini, guru menggunakan pendekatan yang bervariasi menyesuaikan dengan karakteristik siswa. berpusat pada siswa, guru hanya sebagai fasilitator yang menyediakan rancangan proses kegiatan pembelajaran. Dalam konteks ini, guru perlu mengakomodir perbedaan kapasitas siswa: siswa yang lambat, sedang dan cepat memahami materi pembelajaran. Tidak boleh guru menyamaratakan kemampuan siswa.

Di ruang kelas, nama juga ‘anak anak’ sering salah tingkah, bersikap tidak sopan dalam bersikap dan bertutur kata. Waktunya, ketika ada siswa bersikap kurang baik atau kurang sopan, guru berperan untuk mengoreksi sikap tersebut. Dalam konteks ini, guru mencontohkan, bukan membuat contoh apalagi mencontoh contohkan. Jadi ruang kelas sebagai panggung bersikap sopan dan dimulai dari sikap dan ucapan guru.

Belajar juga perlu kekhusukan, maka makmurkanlah ruang kelas!

(Penulis adalah seorang pendidik di Madrasah)

Komentar