Oleh: Dr. Noviardi Ferzi
Ecoreview – Demi mengamankan ketersediaan minyak goreng dengan harga yang terjangkau. Pemerintah akhirnya memutuskan kebijakan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng.
Resikonya banyak, yang utama saat ini pemerintah harus mengatasi anjloknya harga sawit jika terjadi kelebihan pasokan seketika, dan nasib petani sawit yang dirugikan.
Selain itu, kebijakan stop eksport belum tentu bisa langsung meratakan harga komoditas minyak goreng di pasar domestik. Karena terlalu banyak variabel yang saling mempengaruhi satu sama lain.
Ini baru soal minyak goreng, bagaimana nasib petani sawit dan pengaruh volume eksport Indonesia. Melalui tulisan ini saya coba menganalisisnya.
Masalah penghentian eksport ini akan mempengaruhi variabel harga sawit rakyat, cadangan devisa, dan harga produk hilir.
Kata kuncinya, pemerintah perlu meningkatkan bauran minyak sawit dalam biodiesel sembari mengurangi impor minyak bumi dan menjaga permintaan sawit rakyat, tanpa harus membuat kelangkaan bahan baku dan kenaikan harga produk hilir seperti minyak goreng.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah perlu mengkaji kebijakan menghapus skema insentif biodiesel berbasis harga global diganti dengan harga domestik sesuai perkembangan.
Jika harga global diganti dengan domestik tekanan pembiayaan insentif biodiesel dapat dikurangi dan harga bahan bakar minyak (BBM) bisa dipertahankan.
Bisa dibayangkan dari Rp 71,6 triliun pungutan ekspor di 2021, yang dibelanjakan mencapai Rp 53,6 triliun. Insentif biodiesel menghabiskan Rp 52 triliun (97 persen) dari total belanja, menyingkirkan alokasi untuk peremajaan sawit yang hanya mencapai Rp 1,3 triliun (2,4 persen) dan riset Rp 55,8 miliar.
Untuk menjaga keseimbangan ini, dalam jangka menengah dan panjang diperlukan dua kebijakan, pertama, penguasaan stok CPO oleh pemerintah khusus untuk keamanan pangan.
Kedua, perlu percepatan investasi pada lini hilir. Dua Kebijakan ini akan mengubah fundamental dalam ketahanan sosial, energi, pangan, dan devisa di masa mendatang.
Dari sisi harga produk olahan minyak goreng pelarangan ekspor belum tentu dapat membuat harga minyak goreng terjangkau. Mengingat, bahan baku minyak goreng dan minyak goreng bukanlah milik pemerintah, melainkan milik swasta.
Karena pihak swasta akan menetapkan harga yang terbaik untuk mereka, bukan hanya bersandar pada harga keekonomian, tapi pada proyeksi margin yang aman bagi mereka.
Kalaupun pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET), yang justru terjadi adalah kelangkaan karena akan terjadi penyelewengan di pasar. Terjadi modus menahan stok.
Terjadi kondisi, supply berlimpah, harga tak turun. Faktanya barang yang langka adalah minyak goreng yang harganya dipaksa murah, karena produsen tidak mau menjual murah, karena harga bahan baku lebih mahal.
Mengenai dampak pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng terhadap ekonomi Indonesia, saat ini tidak begitu bermasalah. Lantaran kondisi ekspor Indonesia tengah berlimpah sehingga pemerintah berani menghentikan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng.
Pemerintah sendiri berkeyakinan kebijakan ini akan efektif dalam jangka pendek jika dua asumsi terpenuhi. Pertama, over supply di pasar domestik akan menurunkan harga CPO, sehingga minyak goreng dan produk hilir lain lebih murah.
Kedua, pemerintahan tegas dan mampu mengatasi upaya ambil untung melalui ekspor gelap. Meski demikian, sekali lagi pemerintah perlu memikirkan dampak penurunan harga sawit rakyat akibat kelebihan pasokan.
Saat ini ada 34,2 juta ton minyak sawit yang semula terserap oleh pasar luar negeri akan membanjiri pasar domestik yang hanya menyerap 18,4 juta ton di 2021. Kemana lagi petani melepas sawitnya, jika kran eksport ditutup.
Harga sawit rakyat dan penerimaan devisa dari ekspor CPO juga akan merosot drastis. Begitu juga dengan pemasukan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dari pungutan ekspor CPO akan terhenti yang berakibat pembiayaan insentif biodiesel tertekan.
Akhirnya, setelah mengkaji goal yang tak pasti serta banyaknya masalah yang muncul dari penghentian eksport ini, saya melihat pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan moratorium atau pelarangan untuk melakukan ekspor Crude Palm Oil (CPO) beserta minyak goreng.
Karena kebijakan ini merugikan para petani kecil dan mendorong lonjakan harga, termasuk produk turunan seperti minyak goreng. Merusak industri CPO secara keseluruhan, industri minyak goreng juga, dan ini merugikan petani petani kecil yang ada di pedalaman. Terutama petani sawit kecil, pemilik lahan sawit sedang dan pemilik kebun sawit yang tidak memiliki pabrik pengolahan CPO, refinery atau pabrik minyak goreng.
(Penulis merupakan pengamat)
Komentar