Kurikulum Merdeka, Merdeka Belajar (Mengajar), Belajar Sesuka Hati?

Oleh: Amri Ikhsan

“Merdeka” adalah sebuah ‘kata sakti’ bagi bangsa Indonesia. Kata ini memiliki referensi ‘menggembirakan, melegakan, membahagiakan’. Kata keramat ini identik dengan ‘bebas dari tekanan, perhambaan, penjajahan; berdiri sendiri, lepas dari tuntutan, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; leluasa (KBBI). Kata ini juga banyal memberi inspirasi untuk ‘bergerak’ kearah yang lebih baik, pintu masuk untuk berbuat yang terbaik untuk negeri.

Dalam kontek Kurikulum Merdeka, apakah persepsi merdeka belajar atau Merdeka Mengajar, guru ‘seenaknya’ mengajar tanpa persiapan? Guru mengajar ‘semaunya’. Pokoknya guru ‘berada’ di kelas, apa yang dikerja ‘terserah’, yang penting siswa tidak ribut. Guru boleh memberi materi ajar apa yang guru tahu bukan yang siswa mau, memberi tugas sesuka hati, menilai ‘sekehendak hati”.

Guru merdeka mengajar selagi ‘sempat’, boleh memilih kelas yang diajarkan, memilih waktu mengajar sesuai waktu guru, memilih siswa yang mau diajarkan, boleh memilih luring atau daring. Apakah ini yang namanya merdeka mengajar? Semaunya, sesuka hati, sekehendak hati. Yang penting guru ‘merdeka’?

Apakah merdeka belajar, siswa dibebaskan begitu saja dalam pembelajaran, bebas memilih kapau mau belajar, memilih dengan siapa mau belajar, bebas memilih pelajaran yang disukai, boleh memilih belajar dari rumah atau di sekolah, boleh memilih belajar luring atau daring, bebas berpakaian, dll.

Ternyata, merdeka belajar itu berorientasi masa depan, memfokuskan siswa pada pelajaran yang sesuai dengan minat/bakat atau potensi yang dimiliki oleh siswa. Merdeka belajar itu memberikan kesempatan belajar secara bebas dan nyaman kepada siswa untuk belajar dengan tenang, santai dan gembira tanpa stres dan tekanan, tanpa memaksa mereka mempelajari atau menguasai suatu bidang pengetahuan di luar kesukaan dan kemampuan mereka.

Memberi beban kepada anak  di luar kemampuannya adalah tindakan yang tercela yang secara esensi berlawanan dengan semangat merdeka belajar. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh guru yang bijak. Ini tak ubahnya seperti siswa tuna netra  lalu guru memintanya menceritakan keindahan pemandangan kepada teman-temannya. Bila kemerdekaan belajar terpenuhi maka akan tercipta “pembelajaran yang merdeka” dan sekolahnya disebut sekolah yang merdeka atau sekolah yang membebaskan (Herbert, 2019).

Kebebasan Kurikulum Merdeka sama dengan seseorang yang akan pergi ke Jambi di Muara Bulian. Pak Panut suatu hari berencana mau ke Jambi untuk membeli kebutuhan keluargannya. Implementasi Kurikulum Merdeka dalam kasus ini, beliau diberi kebabasan untuk memcapai niatnya mau ke Jambi. Ada beberapa alternatif untuk pergi ke Jambi, bisa lewat Ness, lewat lurus (Pemayung) atau bisa lewat Bajubang.

Pak Panut bisa menggunakan travel, mobil pribadi, sepeda motor atau menggunakan bentuk sarana lainnya. Di sini Pak Panut mempunyai kemerdekaan dalam memilih jalan yang ditempuh, sarana transportasi dengan mempertimbangkan berbagai kondisi dan kebutuhan, seperti biaya, waktu, kemudahan, atau kenyamanan dan menyenangkan.

Kelihatannya kebebasan dalam Kurikulum Merdeka dihubungkan dengan kondisi belajar yang menyenangkan (Kemdikbud). Kondisi menyenangkan membuat siswa yang datang dengan sendirinya untuk belajar tanpa disuruh. Guru tidak perlu ‘repot repot’ memanggil siswa untuk belajar, siswa sendiri terpanggil unruk belajar karena merasa nyaman untuk belajar. Kenyamanan, kegembiraan dan kesenangan membuat antusias belajar siswa menjadi meningkat.

Suasana menyenangkan membuat siswa punya naluri untuk mempelajari semua materi yang ada dan mampu belajar dalam jangka waktu yang relatif lebih lama. Siswa diyakini tidak akan merasa cepat bosan, tidak cepat puas dan tidak mudah berputus asa ketika menghadapi materi yang menantang. Ini inti dari Kurikulum Merdeka.
Oleh karena itu, belajar tidak lagi dinilai oleh besarnya angka, atau sudah melewati nilai Kriteria etuntasan Minimal (KKM) namun berdasarkan capaian nyata yang dihasilkan oleh siswa. Kurikulum merdeka meniadakan KKM. Ketuntasan hasil belajar tidak lagi diukur dengan nilai kuantitatif.

Kriteria untuk menentukan capaian kelayakan siswa menguasai materi pembelajaran adalah keputusan guru dan satuan pendidikan. Artinya, guru merdeka diberikan keleluasaan menentukan kriteria ketercapaian pembelajaran sesuai tujuan belajar sebagai pengganti KKM.

Disetujui untuk menghilangkan ‘kelas’, yakni siswa dikelompokkan berdasarkan umur apapun kompetensinya, tapi siswa dikelompokkan berdasarkan kompetensi, apa yang sudah dikuasai. Kalau siswa siswa sudah menguasai kompetensi tertentu, dikelompokkan dalam satu kelas, walaupun kelas awalnya berbeda beda. Artinya dalam satu kelas bisa saja bercampur kelas 10,11 atau 12.

Siswa hari ini tidak lagi disiapkan siap menghadapi ujian apapun namanya tetapi disiapkan agar siap menghadapi kehidupan, persoalannya di kehidupan sehari hari, sejauh mana siswa bisa menyelesaikan permasalahan yang ditemukan dalam kehidupan nyata.

Harus diakui merdeka belajar dimulai dari kemerdekaan berpikir dan ‘wajib diinisiasi oleh guru. Kalau guru belum memulai, mustahil merdeka terjadi di siswa dalam proses pembelajaran. Jika selama ini guru masih banyak terikat dengan aturan-aturan administrasi, ‘harus’ mengerjakan atau mengikuti atau meniru hal hal terjadi ditempat lain yang belum tentu cocok dengan kondisi sekolah/madrasah, atau mengikuti ‘pemikiran’ orang lain, maka merdeka mengajar hanya slogan belaka.

Untuk itu, pinggirkan dulu penjelasan ‘pokoknya guru harus taat, ikut aturan’, kalau tidak….’. Berilah dulu kesempatan lebih bebas dan terbuka untuk berinovasi, mandiri, dan kreatif dalam proses pembelajaran dan jangan lupa ‘mendukung’ usaha guru apapun bentuknya. Sehingga, guru dengan merdeka berpikir bisa menemukan sendiri strategi pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa untuk melatih dan mengembangkan kemampuan  berpikir  secara  optimal.

Diyakini bahwa merdeka belajar didisain khusus untuk menjawab persoalan yang dirasakan guru dalam menjalankan tufoksinya: 1) banyaknya tugas, beban dan tanggung jawab yang kadang kadang menghambat guru berkreasi dan berinovasi; 2) tuntutan orang tua dan masyarakat yang berlebihan, kalau ada masalah dengan siswa, guru orang pertama disalahkan; 3) reward and punishment guru yang kadang kadang tidak sesuai.

Saat guru belum merdeka mengajar, dapat dipastikan, siswanya juga belum merdeka belajar. Saat guru masih dibebani jam mengajar minimal 24 jam, saat guru dipaksa untuk ‘tunduk’ pada presensi online, kalau tidak ‘tunjangan tertentu akan dipotong, saat guru harus mengikuti ‘aturan’ administratif, maka merdeka belajar sulit terwujud.  Wallahu a’lam bish-shawab.

(Penulis adalah Pendidik di Madrasah)

Komentar