Gawat! Indeks Ketimpangan Kota Jambi Melebar

BETARA.ID, Kota Jambi –  Problem ketimpangan (gini ratio) di Kota Jambi tidak terlepas dari kemiskinan, sementara kemiskinan juga terkait dengan ancaman sosial, termasuk fakta pengangguran yang meningkat.

Realitas ekonomi ini dinilai Pengamat Ekonomi Jambi, Dr. Noviardi Ferzi mengambarkan ketakmampuan pemerintah kota dalam menanggani akar kemiskinan berupa disparitas antar daerah dan golongan masyarakat, akibat tidak meratanya distribusi pendapatan, sehingga kesenjangan antara masyarakat kaya dan masyarakat miskin di Indonesia semakin melebar.

“Semakin tinggi Indeks Gini, semakin besar pula ketimpangan yang ditunjukkan. Ini artinya, penduduk dengan income tinggi akan menerima angka persentase yang jauh lebih tinggi pula dari total income seluruh penduduk. Ini memicu kesenjangan di Kota Jambi, antara kaya dan miskin,” ungkapnya.

Menurutnya dari kurun waktu 2018 hingga 2021, Kota Jambi mengalami stagnasi ketimpangan. Angka ini merujuk pada koefisien gini yang sebesar 0, 33 di tahun 2018 dan 2019. Sedangkan tahun 2020 angka ini meningkat 0,34 dan terakhir di 2021 sebesar 0,35.

“Merujuk data skala ketimpangan di Kota Jambi masih tergolong ringan, namun dari segi kedalaman cukup parah, terjadi stagnasi, tak ada perubahan dari tahun ke tahun, dan ini terjadi sebelum pandemi,” ungkapnya dalam diskusi di dengan mahasiswa (12/4) kemarin.

Kondisi ketimpangan yang tak berubah dari tahun ke tahun, disebabkan banyak faktor, namun secara kebijakan ada indikasi pembiaran atau memang program yang disusun pemkot tidak terlalu tepat mengantisipasi kedalaman angka ketimpangan di kota, program yang ada masih bersipat permukaan, sementara masalahnya jauh di dasaran.

Dampak dari situasi ini yaitu kemiskinan. Terkait ini jumlah penduduk miskin, di Kota Jambi masih tinggi. Tahun 2020 lalu saja kemiskinan meningkat sebanyak 0,15 persen dari tahun 2019, yakni dari  8,12 persen menjadi 8,27 persen pada 2020. Data ini menunjukkan dari 279,86 ribu orang miskin di Provinsi Jambi, 50 ribunya ada di Kota Jambi. Setengah dari angka ini terkategori kemiskinan ekstrem.

Problem kompleks pembangunan yang memicu ketimpangan di kota Jambi adalah migrasi, distribusi pendapatan dan program yang terlalu sektoral. “Persoalan utama migrasi yaitu mencari kehidupan yang lebih baik, dan perkotaan masih diyakini memberikan perbaikan kehidupan, lalu distribusi pendapatan antar masyarakat dan kelurahan dan program infarstruktur yang tidak berdampak,” ujarnya.

Jadi, menurut Noviardi fakta ketimpangan di Jambi bukanlah persoalan baru, hanya saja sudah nyaris tak terselesaikan, meski tantangan dan juga faktor pemicunya cenderung kompleks. Sehingga identifikasi dan pemetaan dari kasus ini menjadi relevan untuk dilakukan, setidaknya bisa untuk mereduksi dampak negatif dari ketimpangan, termasuk misalnya ancaman sosial dan kriminal dari ketimpangan yang terjadi di perkotaan. (Fey)

Komentar