Pakar Hukum Ingatkan Semua Warga Negara Sama di Mata Hukum, Termasuk Suku Anak Dalam

BETARA.ID, Jambi – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jambi, Prof. Dr. Usman, S.H., M.H, menegaskan bahwa tidak ada satupun warga negara Indonesia yang kebal hukum.

Dalam pandangannya, baik masyarakat adat maupun masyarakat umum memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Menurut Prof Usman, selain hak dan kewajiban yang sama, prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law) berlaku tanpa pengecualian.

“Kalau saya melanggar, saya dihukum. Samo jugo dengan sanak (saudara), kalau melanggar pun harus dihukum. Tidak ada alasan siapa pun untuk kebal hukum, termasuk pada masyarakat Suku Anak Dalam (SAD),” katanya saat memberikan paparan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) di Hotel Merangin Syariah, Bangko, Kamis (14/8).

FGD yang diselenggarakan Forum Kemitraan Pembangunan Sosial Suku Anak Dalam (FKPS-SAD) mengangkat tema Upaya dan Strategi Penegakan Stabilitas dan Penertiban terhadap Potensi Konflik Para Pihak: SAD, Masyarakat Desa, dan Dunia Usaha Sektor Perkebunan. Pada acara itu, hadir seluruh Temenggung, dan beberapa kelompok SAD.

Pernyataan Prof Usman mengingatkan banyak pihak di Jambi mengenai serangkaian tindakan yang dilakukan oknum-oknum masyarakat SAD dari kelompok Makekal Meranti, Kabupaten Tebo.

Beberapa waktu lalu, kelompok dari wilayah Makekal Meranti tersebut masuk ke wilayah Air Hitam, khususnya di wilayah operasional salah satu perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Jambi.

Pada 2 Juni 2025, misalnya. Kelompok ini kedapatan tengah memanen buah sawit dari pohon yang ditanam perusahaan. Petugas keamanan perusahaan berusaha mengingatkan tindakan itu.

Bukan menuruti arahan, oknum-oknum SAD tersebut justru melakukan pemukulan. Bahkan merusak bangunan pos petugas keamanan perusahaan sawit.

Peristiwa ini kemudian dibicarakan melalui Forum Temenggung. Temenggung adalah jabatan sosial seorang kepala rombong SAD. Pertemuan itu menghasilkan sidang adat pada 16 Juni 2025 yang memutuskan sanksi adat berupa denda luko tengah serba 20 senilai Rp4,7 juta, yang dihitung dari denda berupa seekor kambing, beras 60 kilogram, kelapa 20 butir, dan selemak semanis.

Meskipun sudah diputuskan melalui kesepakatan Forum Temenggung, denda yang harus dibayarkan kelompok SAD Makekal Meranti hingga kini belum diterima pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang karyawannya menjadi korban pemukulan.

Tak hanya belum membayar denda, pada 4 Agustus 2025 terjadi lagi peristiwa serupa. Bahkan lebih mencemaskan dan berpotensi meletus jadi konflik sosial karena sebagian masyarakat Desa Air Hitam merasa geram dengan tindakan kelompok SAD dari luar wilayah Air Hitam.

Beruntung, benturan antarmasyarakat itu berhasil diredam. Seorang SAD yang terjatuh hingga mengalami luka ringan di kepala pun segera mendapat pertolongan dan diobati di klinik perusahaan sawit.

Untuk menghindari peristiwa serupa sekaligus mengintensifkan komunikasi antar pihak dalam program-program pemberdayaan masyarakat SAD itulah FKPS-SAD kembali menggelar FGD.

“Upaya memenuhi kebutuhan masyarakat SAD secara tepat sebetulnya sudah lama berjalan. Tindakan-tindakan oknum seperti ini kita khawatirkan merusak proses yang tengah berlangsung dengan baik,” ujar Juru Bicara FKPS-SAD, Budi Setiawan.

FKPS-SAD sendiri memang dirancang sebagai wadah multistakeholder yang diorientasikan untuk memberdayakan dan membangun kemandirian masyarakat SAD. Selain terdiri dari LSM, forum ini terdiri dari tokoh masyarakat, masyarakat SAD, pemerintah, dan perusahaan-perusahaan kelapa sawit.

“Selagi hukum adat membawa kedamaian, silakan diikuti. Tetapi kalau berbenturan, hukum negara yang berlaku,” lanjut Prof. Usman dalam FGD itu.

Pernyataan tersebut menengahi sikap sebagian pihak yang menilai masyarakat adat hanya tunduk pada hukum adat. “Kita semua sama di mata hukum,” ujar Prof Usman kembali menegaskan. (*/rdi)

Komentar